Picture by Isma |
Otto
Oh Otto
Tak
pernah bermimpi bisa sampai disuatu tempat terpencil yang jauh dari jamahan
manusia kota. Ya, inilah Dusun ku yang
bernama Walsekat. Dusun yang berada di tengah hutan dan diatas bukit. Dusun
yang hanya memiliki 25 rumah saja, Dusun yang hanya memiliki penduduk kurang
dari seratus orang dan Akses menuju kedusun menggunakan mobil strada dikarenakan kondisi yang masih tidak
bisa dilewati dengan kendaraan umum biasa. Kakipun sampai menuju di dusun itu.
Terlihatlah orang-orang yang menghampiri bak seperti kedatangan tamu besar. Sanubariku
tertawa geli dan berbisik, pemandangan apa ini? Tas satu persatu dimasukkan,
sambil terngangah melihat rumah yang aku tempatin ditempat tugas. Batinkupun
mulai berbicara, inilah yang akan kau jalanin. Keadaan yang jauh dari kata
layak seperti di gedung-gedung pencakar langit.
Setiap
harinya ada hal yang membuatku geli. Otto, sebuah bahasa Buru yang artinya
mobil. Otto yang datang dari desa wamlana menuju puncak walsekat sehari sampai
tiga otto yang masuk. Bukan karena ottonya aku lantas menjadi geli, akan tetapi keadaan
masyarakatnya yang saat kedatangan otto bak seperti melihat kedatangan
presiden. Terucaplah dari bibirku “iiihhh apa sih yang dilihat dari otto, “kenapa
asal otto datang masyarakat lari hanya ingin melihat otto datang”. Ya Tuhan apa
yang menariknya dari sebuah pemandangan ini.
Hari
telah berganti, pemandangan itu pun terus terlihat. Tak sengaja aku menatap
tajam seorang anak yang umurnya sekitar 13 tahun saat melihat otto. Terlihat
sebuah harapan dimata anak itu, yang harapan itu seolah-olah dia ingin lari
mengejar otto serta menaikinya. Akupun seolah ingin bertanya tapi bibir tak
mampu terucap. Otto berlalu, kegundahan wajah remaja itu pun terlihat manyun. Pemandangan
ini terus dan terus ku alami, sampai dimana ada sebuah hal yang tanpa aku
sadari dan tanpa sebuah alasan aku menjadi seperti itu. Ada kegembiraan yang
kualami, sampai terpancarlah senyuman seolah melihat kekasih datang. Kuintip
setiap kedatangannya, ku letakkan sebuah harapan di batinku sambil melihat
waktu kapan dia tiba. Jendela tua menjadi saksi setiap intipan centil itu. Tak hanya di rumah tua intipan centil ku
lakukan, disekolahpun mata tajam melihat saat dia tiba.
Kini
aku menjadi seperti mereka, pemandangan yang awalnya sangat tidak menarik itu kian
terus membuat tawa di sanubariku. Tak menarik karena dulu setiap hari, setiap detik
aku melihatnya di Ibukota, apalagi dengan berbagai model yang lebih canggih nan
elegan. Seiring berjalannya waktu ada kisah yang memang tak bisa diungkapkan
dengan kata-kata, bahkan saat ditanyapun tak tahu menjawab dari mana. Dia
datang, kakipun langsung berlari mengintip dari kejauhan. Rasa gembira sambil
tersenyum sendiri memandangnya sambil membayangkan sebuah harapan perubahan. Akupun
menyadari, ternyata ini hiburanku, hiburan seluruh masyarakat di dusun yang
terpencil ini melihat otto datang dan pergi.
(pipit_ungu)
0 komentar:
Posting Komentar