Senin, 25 Desember 2017

Otto Oh Otto


Picture by Isma
Otto Oh Otto

 Tak pernah bermimpi bisa sampai disuatu tempat terpencil yang jauh dari jamahan manusia kota. Ya,  inilah Dusun ku yang bernama Walsekat. Dusun yang berada di tengah hutan dan diatas bukit. Dusun yang hanya memiliki 25 rumah saja, Dusun yang hanya memiliki penduduk kurang dari seratus orang dan Akses menuju kedusun menggunakan mobil  strada dikarenakan kondisi yang masih tidak bisa dilewati dengan kendaraan umum biasa. Kakipun sampai menuju di dusun itu. Terlihatlah orang-orang yang menghampiri bak seperti kedatangan tamu besar. Sanubariku tertawa geli dan berbisik, pemandangan apa ini? Tas satu persatu dimasukkan, sambil terngangah melihat rumah yang aku tempatin ditempat tugas. Batinkupun mulai berbicara, inilah yang akan kau jalanin. Keadaan yang jauh dari kata layak seperti di gedung-gedung pencakar langit.
                Setiap harinya ada hal yang membuatku geli. Otto, sebuah bahasa Buru yang artinya mobil. Otto yang datang dari desa wamlana menuju puncak walsekat sehari sampai tiga otto yang   masuk. Bukan karena ottonya  aku lantas menjadi geli, akan tetapi keadaan masyarakatnya yang saat kedatangan otto bak seperti melihat kedatangan presiden. Terucaplah dari bibirku “iiihhh apa sih yang dilihat dari otto, “kenapa asal otto datang masyarakat lari hanya ingin melihat otto datang”. Ya Tuhan apa yang menariknya dari sebuah pemandangan ini.
                Hari telah berganti, pemandangan itu pun terus terlihat. Tak sengaja aku menatap tajam seorang anak yang umurnya sekitar 13 tahun saat melihat otto. Terlihat sebuah harapan dimata anak itu, yang harapan itu seolah-olah dia ingin lari mengejar otto serta menaikinya. Akupun seolah ingin bertanya tapi bibir tak mampu terucap. Otto berlalu, kegundahan wajah remaja itu pun terlihat manyun. Pemandangan ini terus dan terus ku alami, sampai dimana ada sebuah hal yang tanpa aku sadari dan tanpa sebuah alasan aku menjadi seperti itu. Ada kegembiraan yang kualami, sampai terpancarlah senyuman seolah melihat kekasih datang. Kuintip setiap kedatangannya, ku letakkan sebuah harapan di batinku sambil melihat waktu kapan dia tiba. Jendela tua menjadi saksi setiap intipan centil itu.  Tak hanya di rumah tua intipan centil ku lakukan, disekolahpun mata tajam melihat saat dia tiba.  
                Kini aku menjadi seperti mereka, pemandangan yang awalnya sangat tidak menarik itu kian terus membuat tawa di sanubariku. Tak menarik karena dulu setiap hari, setiap detik aku melihatnya di Ibukota, apalagi dengan berbagai model yang lebih canggih nan elegan. Seiring berjalannya waktu ada kisah yang memang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, bahkan saat ditanyapun tak tahu menjawab dari mana. Dia datang, kakipun langsung berlari mengintip dari kejauhan. Rasa gembira sambil tersenyum sendiri memandangnya sambil membayangkan sebuah harapan perubahan. Akupun menyadari, ternyata ini hiburanku, hiburan seluruh masyarakat di dusun yang terpencil ini melihat otto datang dan pergi.

(pipit_ungu)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review